Langsung ke konten utama

Makna Hukum

     Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai sifat alamiah untuk hidup berkumpul dengan sesamanya. 

Hal ini senada dengan pernyataan Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon yang berarti manusia sebagai makhluk sosial, dalam pengertian bahwa manusia senantiasa hidup dalam suatu pergaulan bersama dengan manusia lainnya.

 

          Berbicara tentang hukum berarti berbicara tentang manusia, karena unsur pokok daripada hukum ialah berkenaan dengan manusia di dalam pergaulan hidupnya. Sejak dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam suatu wadah bernama masyarakat yang lama-kelamaan skala pergaulannya dengan manusia lain semakin luas. Dengan semakin beranjaknya usia menjadi dewasa, manusia akan menyadari dengan sendirinya bahwa dalam berhubungan dengan masyarakat dia memang bebas, namun tidak bertindak semaunya. Hal tersebut dipelajari mulai dari skala kecil di dalam keluarga, yaitu dari ayah dan ibunya manusia akan belajar tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

          Konteks pembicaraan menurut Aristoteles mengenai hukum ditempatkan dalam refleksi filosofisnya tentang kehidupan politik dalam negara. Bagi Aristoteles sumber kekuasaan ialah hukum. Ia menegaskan bahwa hanya apabila hukum yang menjadi sumber kekuasaan, barulah pemerintahan para penguasa akan terarah bagi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Jika hukum yang menjadi sumber kekuasaan bagi pemerintah, maka dapat dijamin bertumbuhnya moralitas yang terpuji yang mencegah penguasa dari kesewenang-wenangan.

          Dalam hal refleksi Aristoteles mengenai hukum, beliau menyamakan hukum dengan akal atau kecerdasan sehingga barangsiapa yang memberi tempat bagi hukum untuk memerintah berarti ia telah memberi tempat bagi akal serta kecerdasan untuk memerintah. Sebaliknya barangsiapa yang memberi tempat bagi manusia untuk memerintah, berarti ia memberi tempat bagi binatang buas, karena menurut Aristoteles bagaimanapun bijaksananya manusia ia tetap memiliki keinginan dan nafsu untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, hanya hukumlah yang patut memiliki kedaulatan tertinggi dan hanya hukumlah yang layak menhjadi sumber kekuasaan, karena hukum adalah akal atau kecerdasan yang tak dapat dipengaruhi oleh keinginan dan nafsu.[1] 

          Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda. Makin banyak manusia melibatkan dirinya dalam suatu pergaulan hidup,maka akan semakin beraneka ragam manusia dalam suatu masyarakat dan semakin kompleks pula masyarakat itu sendiri. Dan untuk mencapai keharmonisan dalam pergaulannya, akan ditentukan oleh cara anggota masyarakat itu bertingkah laku satu sama lain.

          Adapun yang menyebabkan manusia selalu hidup bermasyarakat ialah antara lain dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misalnya:[2] 
  1. Hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum; 
  2. Hasrat untuk membela diri;
  3. Hasrat untuk mengadakan keturunan.

          Untuk memenuhi hasrat tersebut tersebut, maka manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya dengan berbagai jalan dan cara. Akan tetapi seringkali dalam pelaksanaannya manusia memperlihatkan sifat-sifat kurang baik yang ada di dalam dirinya (seperti egoistis dan tamak) yang membawa manusia cenderung untuk mendapatkan keuntungan sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Dan jika sifat seperti ini dilakukan terus tanpa dibatasi, niscaya akan menimbulkan kekacauan yang mengganggu keserasian hidup dan timbul perpecahan di dalam masyarakat itu.

          Hal ini lama-kelamaan akan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia, bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebenarnya berpedoman kepada suatu aturan yang diatur oleh nilai-nilai tertentu agar manusia tersebut dapat diterima di dalam pergaulannya di tengah masyarakat. Dengan sadar atau tidak, manusia dipengaruhi oleh peraturan hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dan mengatur perhubungan antar manusia.

          Peraturan hidup itu memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia harus bertingkah laku dan bertindak di dalam masyarakat. Peraturan-peraturan hidup seperti itu disebut peraturan hidup kemasyarakatan. Peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat, dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum.[3] 

          Pada masyarakat yang teraturlah manusia dapat menikmati hak-haknya dengan sempurna, dapat hidup secara berdampingan dengan penuh kedamaian, tanpa adanya penguasaan dan penindasan atas manusia lain, karena memang manusia semenjak dilahirkan adalah bebas, dan mempunyai kedudukan yang sama seperti yang digambarkan oleh John Locke dan Thomas Jefferson: “Men are created free and equal.”[4] 

          Apakah sebenarnya hukum itu ? Hampir semua ahli hukum memberikan pembatasan atau definisi hukum yang berlainan. Berikut beberapa definisi hukum dari para ahli hukum:

a.       E. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia:
“Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.”

b.      E. M. Meyers dalam bukunya De Algemene begrippen van het Burgerlijk Recht:
“Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.”

c.       Immanuel Kant dalam bukunya Inleiding tot de Rechtswetsnschap:
“Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.”

d.      J. van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht:
“Tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukum mengatur pergaulan hidup secara damai.”


          Sesungguhnya apabila diteliti, akan sukarlah bagi kita untuk memberi definisi tentang hukum, sebab seperti yang telah dijelaskan dari para ahli hukum tetap tidak dapat memuaskan semua pihak. Menarik untuk dilihat pada pandangan van Apeldoorn, beliau menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum itu sendiri. Artinya bahwa, hukum itu tidak dapat kita lihat namun sangat diperlukan untuk mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat.

          Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu. Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh menaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyakarat. Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyakarat.[5] Dengan demikian, hukum itu bertujuan untuk menjamin terciptanya harmonisasi di dalam hubungan antar manusia di masyarakat.

          Dilihat dalam praktiknya, seringkali hukum hanya diletakkan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan di dalam masyarakat dan negara. Padahal makna dan arti hukum tidak hanya sebatas demikian. Menilik pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa hukum itu disamakan dengan akal atau kecerdasan manusia, maka hukum merupakan pedoman yang tidak dipengaruhi oleh keinginan atau nafsu. Kebijaksanaan manusialah yang dituntut untuk memberi arti bagi hukum, namun tetap harus diakui bahwa bagaimanapun juga tiada manusia yang sempurna dan selalu terdapat kekeliruan dalam hidupnya. Dengan demikian, hukum dapat dikatakan terdapat dalam posisi “dapat dicium namun tidak dapat disentuh.”

                [1] J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 64.
                [2] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan kedelapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 32.
                [3] Ibid., hal. 34.
                [4] Ramli Zein, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Pekanbaru: UIR Press, 1988), hal. 4.
                [5] C. S. T. Kansil, op.cit., hal. 40.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengambilan Keputusan Penyidik Dalam Penahanan Tersangka

Pendahuluan             Secara umum, kita mengetahui bahwa polisi merupakan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ( peace and order maintenance ) dan penegakan hukum ( law enforcement ). Dalam perkembangannya, hal ini dipandang pasif sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan. Polisi kemudian dituntut proaktif melakukan “pembinaan” sehingga tidak hanya menjaga agar terpelihara kamtibmas tetapi juga menimbulkan keselamatan masyarakat, menggugah dan mengajak peran serta masyarakat dalam upaya menjaga kamtibmas bahkan ikut memecahkan masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan ( community policing ). Oleh karena itu polisi dituntut harus mampu menyelesaikan masalah sosial ( to solve social problem ).             Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana tata cara pelaksan...

Trading in Influence, Modus Korupsi Baru yang Belum Tersentuh

Trading in Influence di Dalam UNCAC      Pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusan dalam memerangi korupsi melakukan ratifikasi terhadap Konvensi PBB Menentang Korupsi tahun 2003 ( United Nations Convention Against Corruption /UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Konvensi ini menganggap pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab semua Negara dan bahwa mereka harus bekerja sama satu dengan yang lain, dengan dorongan dan keterlibatan individu-individu dan kelompok-kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, agar upaya tersebut menjadi efektif.      UNCAC memiliki maksud dan tujuan umum, yaitu untuk memajukan dan meningkatkan atau memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif; untuk memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam me...