Langsung ke konten utama

Pengambilan Keputusan Penyidik Dalam Penahanan Tersangka


Pendahuluan
            Secara umum, kita mengetahui bahwa polisi merupakan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (peace and order maintenance) dan penegakan hukum (law enforcement). Dalam perkembangannya, hal ini dipandang pasif sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan. Polisi kemudian dituntut proaktif melakukan “pembinaan” sehingga tidak hanya menjaga agar terpelihara kamtibmas tetapi juga menimbulkan keselamatan masyarakat, menggugah dan mengajak peran serta masyarakat dalam upaya menjaga kamtibmas bahkan ikut memecahkan masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan (community policing). Oleh karena itu polisi dituntut harus mampu menyelesaikan masalah sosial (to solve social problem).
            Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum yang harus di patuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan dan tugas-tugas dalam penyidikan. Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya. Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi terutama dalam melakukan wewenang upaya paksa yang sangat sensitif dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) seperti penahanan tersangka.

Pengertian Penyidik Dan Penyidikan
            Pengertian penyidik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdapat Pada Pasal 1 butir 1 yang pada pokoknya berarti Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri) dan Pejabat Pegawai Negari Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.  Selain penyidik, dikenal pula penyidik pembantu yang terdapat pada Pasal 1 butir 3 KUHAP jo. Pasal 1 Butir 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 (UU Polri) yang pada pokoknya berarti pejabat Polri berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan. Mengenai PPNS terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP, yaitu misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyelidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
            Penyidikan sesuai Pasal 1 butir 2 KUHAP berarti serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik, maka dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian wewenang. 

Pengambilan Keputusan Dalam Tugas Polisi
            Dalam sistem peradilan pidana, setiap subsistem Polisi, Jaksa, Hakim, dan Sipir Lembaga Pemasayrakatan selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui seperti identifikasi masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan keputusan yang terbaik.
            Subsistem paling sering bersentuhan dengan pengambilan keputusan dapat dilihat pada pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Hal ini sudah dapat dilihat dari tugas pertama polisi, yaitu menerima laporan. Ia harus melakukan pengambilan keputusan apakah laporan ini merupakan peristiwa pidana atau bukan sehingga dapat dilanjutkan proses penyidikan. Dan kemudian hal ini berlanjut hingga dikirimkannya berkas perkara ke Jaksa Penuntut Umum untuk dimulai proses penuntutan.

Wewenang Penyidik
            Tugas penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena penyidikan yang dilakukan Polri menandakan Polri merupakan pintu gerbang dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya. Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 16 ayat (1) UU Polri, yang menyebutkan bahwa wewenang penyidik adalah sebagai berikut:
  1. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  4. Melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
  5. Mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
  6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  8. Mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  9. Mengadakan penghentian penyidikan;
  10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
            Dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliki, maka semakin besar tanggung jawab penyidik. Oleh karena itu, dalam setiap melaksanakan wewenangnya, penyidik selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan yang seringkali bersifat subjektif.

Pengambilan Keputusan Dalam Penahanan Tersangka
            Keputusan untuk melakukan wewenang dan upaya paksa penahanan terhadap tersangka dalam proses penyidikan perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat berkaitan dengan hak hidup manusia sebagai HAM. Hak dasar ini kemudian wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
            Pelaksanaan penahanan adalah berdasarkan syarat-syarat subjektif dan objektif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 KUHAP. Syarat subjektif yaitu dalam hal tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti; dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). Sedangkan syarat objektif yaitu apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan untuk tindak pidana tertentu yang ancaman pidana penjara di bawah lima tahun (Pasal 21 ayat (4) KUHAP).
            Syarat subjektif yang menjadi dasar dilakukan penahanan adalah bersifat alternatif dan penafsirannya maupun implementasinya tergantung kepada subjektivitas penyidik. Hal ini memberikan peluang/kesempatan sekaligus legitimasi untuk terjadinya praktik abuse of power dalam penggunaan/pelaksanaan kewenangan untuk menahan. Terdapat beberapa pokok pikiran penanggulangannya yaitu: 
  1. Beberapa kriteria yang menjadi dasar pertimbangan dalam hal keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri antara lain:
         a.   Tempat tinggal tidak tetap (alamat tidak jelas/tunawisma);  
         b.   Keluarga tidak jelas;  
         c.   Memiliki passport;  
         d.   Memiliki lebih dari satu kewarganegaraan; dan  
         e.   Tersangka bertempat tinggal jauh dari wilayah kerja penyidik.
  2. Beberapa kriteria yang menjadi dasar pertimbangan dalam hal keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan merusak atau menghilangkan barang bukti antara lain: 
         a.       Barang bukti sebagian/seluruhnya belum ditemukan oleh penyidik; 
          b.      Tersangka mempunyai kemampuan/keterampilan untuk merusak atau menghilangkan barang bukti; dan 
        c. Tersangka memiliki pengaruh, wibawa, kekuatan, kekuasaan dalam mengendalikan orang lain untuk merusak/menghilangkan barang bukti.
  3. Beberapa kriteria yang menjadi dasar pertimbangan dalam hal keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan mengulangi tindak pidana antara lain: 
         a.   Tersangka telah berulang kali melakukan tindak pidana (residivis); dan 
         b.   Perilaku tersangka membahayakan orang lain.
            Syarat objektif yang menjadi dasar penahanan telah jelas diatur dan berpedoman pada rambu-rambu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
  1. Ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih dapat ditahan dengan dasar pertimbangan yang mengacu kepada syarat subjektif; dan
  2.  Ancaman pidana penjara di bawah lima tahun yang dapat ditahan yitu: Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506 KUHP, dengan dasar pertimbangan antara lain:
a.  Menimbulkan kerugian yang besar dan berdampak negatif terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas);
b.  Mengancam keselamatan jiwa;
c.  Mendapat sorotan publik secara luas; dan
d.  Melukai rasa keadilan masyarakat.
            Istilah penahanan telah diseragamkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 KUHAP. Tidak seperti istilah yang beragam dalam HIR, yang membedakan dan mencampur aduk antara penangkapan, penahanan sementara, dan tahanan sementara. Dalam peristilahan Belanda  untuk menangkap tersangka disebut de Verdachte aan te houden (Pasal 60 ayat (1) HIR), untuk menahan sementara digunakan istilah voorlopige aan houding (Pasal 62 ayat (1) HIR) serta untuk perintah penahanan digunakan istilah Ziijn gevangen houding bevelen (Pasal 83 HIR).

Variabilitas Dalam Pengambilan Keputusan
            Keputusan penahanan oleh penyidik tidak dapat dipandang sebagai keputusan yang berdiri sendiri, namun ada kaitannya dengan pluralistik tindakan dalam sistem peradilan pidana yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam sistem peradilan pidana. Keputusan penahanan tersangka oleh penyidik dipengaruhi oleh pengetahuan, nilai-nilai, pengalaman penyidik yang saling mempengaruhi dan menjadi pertimbangan maupun motivasi penyidik dengan mengacu pada interpretasi atas aturan-aturan yang ada dalam KUHAP dan berbagai peraturan pidana lainnya dalam memutuskan penahanan tersangka untuk tujuan tertentu.
            Oleh karena setiap interpretasi penyidik berbeda dalam menilai suatu peristiwa, maka keputusan yang diambil tentu akan berbeda antara satu penyidik dengan penyidik lainnya. Perbedaan ini akan menimbulkan variabilitas dalam pengambilan keputusan, dan pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pandangan masyarakat. Hal ini didukung pula dengan adanya diskresi pada setiap anggota Polri untuk bertindak dalam pelaksanaan tugasnya.
            Dengan demikian, untuk memitigasi/meminimalisir variabilitas dalam pengambilan keputusan anggota Polri, maka perlu dilakukan pengendalian diskresi. Pengendalian diskresi dapat dilakukan dengan dua hal yaitu pembekalan pengalaman melalui proses pendidikan dan pelatihan, dan pemberian aturan dan rambu-rambu dalam setiap tugas yang menimbulkan posisi pengambilan keputusan ditambah dengan prinsip penuntun. Dan pada akhirnya penerapan diskresi harus didasarkan pada kode etik dari kepolisian sehingga pengambilan keputusan dalam pelaksanaan tugas seorang penyidik dapat dilakukan dengan tepat dan arif. Tepat berarti sesuai dengan aspek legal, dan arif berarti sesuai dengan aspek sosio-kultural.

Dasar Pengambilan Keputusan Gottfredson
            Menurut Michael Gottfredson dan Don Gottfredson, terdapat tiga hal besar yang memengaruhi seorang penegak hukum mengambil keputusan dalam peradilan pidana, yaitu:
  1.  the seriousness of the offense;
  2. the prior criminal conduct of the offender;
  3. the personal relationship between the victim of the crime and the offender.
            Faktor keseriusan kesalahan melihat pada sifat kerugian fisik dan harta benda. Faktor ini telah terbukti menjadi faktor dominan dalam keputusan korban, polisi,penuntut, hakim, dan pengawas lembaga pemasyarakatan. Gagasan utamanya yaitu semakin serius peristiwanya, maka semakin mungkin pelaku (atau yang diduga) kejahatan akan dilaporkan ke polisi, akan ditangkap, dan akan menjalani sejumlah waktu hukuman penjara.
            Faktor kedua berupa kejahatan sebelumnya yang pernah dilakukan oleh pelaku dilihat baik dalam hubungannya dengan dan keseriusan pelanggaran yang independen. Ketika terdapat catatan kejahatan yang sudah pernah dilakukan, walaupun tidak serius, akan berdampak lebih mungkin untuk diproses penuh. Begitu pula semakin serius kejahatannya akan berdampak pada semakin besarnya perhatian pada prosesnya. Pengaruh ini berhubungan dengan pengambilan keputusan untuk menangkap, untuk meminta uang jaminan, untuk meminta penahanan, dan penentuan lamanya pidana penjara.
            Faktor hubungan pribadi antara korban kejahatan dan pelakunya secara ringkas dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana tidak mengurus tindak pidana antar orang yang saling mengenal. Hampir setiap proses pengambilan keputusan mencari alternatif untuk tindak pidana antar keluarga, teman, dan kenalan. Disposisi terberat terjadi secara terus menerus dalam peristiwa antar orang yang saling kenal. Korban jarang melaporkan peristiwa yang tidak asing, polisi jarang menangkap, dan begitu seterusnya sistem tersebut. Mungkin saja dengan catatan sebelumnya, hubungan korban-pelaku hanyalah aspek lain dari “keseriusan pelanggaran hukum.”


 REFERENSI
 
Laporan Kompilasi Pengkajian Dan Pengembangan Pedoman Penahanan, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Penelitian Dan Pengembangan Ilmu & Teknologi Kepolisian (PTIK-PPITK).

Michael R. Gottfredson dan Don M. Gottfredson. Decision Making In Criminal Justice: Toward the Rational Exercise of Discretion, Second Edition. New York and London: Plenum Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trading in Influence, Modus Korupsi Baru yang Belum Tersentuh

Trading in Influence di Dalam UNCAC      Pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusan dalam memerangi korupsi melakukan ratifikasi terhadap Konvensi PBB Menentang Korupsi tahun 2003 ( United Nations Convention Against Corruption /UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Konvensi ini menganggap pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab semua Negara dan bahwa mereka harus bekerja sama satu dengan yang lain, dengan dorongan dan keterlibatan individu-individu dan kelompok-kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, agar upaya tersebut menjadi efektif.      UNCAC memiliki maksud dan tujuan umum, yaitu untuk memajukan dan meningkatkan atau memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif; untuk memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam me...

Makna Hukum

     Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai sifat alamiah untuk hidup berkumpul dengan sesamanya.  Hal ini senada dengan pernyataan Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon yang berarti manusia sebagai makhluk sosial, dalam pengertian bahwa manusia senantiasa hidup dalam suatu pergaulan bersama dengan manusia lainnya.             Berbicara tentang hukum berarti berbicara tentang manusia, karena unsur pokok daripada hukum ialah berkenaan dengan manusia di dalam pergaulan hidupnya. Sejak dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam suatu wadah bernama masyarakat yang lama-kelamaan skala pergaulannya dengan manusia lain semakin luas. Dengan semakin beranjaknya usia menjadi dewasa, manusia akan menyadari dengan sendirinya bahwa dalam berhubungan dengan masyarakat dia memang bebas, namun tidak bertindak semaunya. Hal tersebut dipe...