Langsung ke konten utama

Trading in Influence, Modus Korupsi Baru yang Belum Tersentuh

Trading in Influence di Dalam UNCAC

     Pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusan dalam memerangi korupsi melakukan ratifikasi terhadap Konvensi PBB Menentang Korupsi tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Konvensi ini menganggap pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab semua Negara dan bahwa mereka harus bekerja sama satu dengan yang lain, dengan dorongan dan keterlibatan individu-individu dan kelompok-kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, agar upaya tersebut menjadi efektif.

     UNCAC memiliki maksud dan tujuan umum, yaitu untuk memajukan dan meningkatkan atau memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif; untuk memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam mencegah dan memerangi korupsi, terutama pengembalian aset; serta meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan manejemen publik dalam pengelolaan kekayaan negara. Arti Penting Ratifikasi UNCAC bagi Indonesia:
  1. Meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
  2. Meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;
  3. Meningkatkan kerjasama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerjasama penegakan hukum;
  4. Mendorong terjalinnya kerjasama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidan korupsi di bawah payung kerjasama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral;
  5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.
     Ada beberapa ketentuan dalam UNCAC yang belum diatur dalam UU PTPK sampai saat ini, seperti kriminalisasi suap dalam sektor swasta, penyuapan pejabat publik asing, sampai hal yang belum dikenal di Indonesia sebelumnya yaitu ketentuan Pasal 18 UNCAC mengenai “memperdagangkan pengaruh” (trading in influence). Ketentuan mengenai trading in influence tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18 UNCAC, yang isinya yaitu:
Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:
a.   The promise, offering or giving to a public official or any other person, directly or indirectly, of an undue advantage in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage for the original instigator of the act or for any other person;
b.   The solicitation or acceptance by a public official or any other person, directly or indirectly, of an undue advantage for himself or herself or for another person in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage.


     Bila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, maka UNCAC mengamanatkan kepada setiap negara pihak untuk dapat mempertimbangkan agar mengambil tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain, sejauh diperlukan, untuk menetapkan sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja:
a.     Menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau secara tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakannya ada, dengan maksud untuk memperoleh dari otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara peserta, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau untuk orang lain;
b.   Permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain agar pejabat publik itu, atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dimilikinya, dengan maksud memperoleh dari otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara peserta atau keuntungan yang tidak semestinya.

 Trading in Influence dan Lobi

     Perdagangan pengaruh (trading in influence) berhubungan erat dengan akses khusus yang dimiliki pihak yang berkepentingan (yang menggunakan jasa orang ketiga) ke pejabat publik yang tercermin pada kebijakan publik yang dihasilkan, yang merugikan kepentingan umum. Praktik perdagangan pengaruh sebagai perbuatan korupsi dapat digambarkan dengan kegiatan lobi yang memasuki kategori praktik korupsi. Kegiatan lobi memasuki kategori praktik korupsi ketika sesuatu yang bernilai bagi pejabat pemerintah dipertukarkan dengan bantuan resmi darinya. Dapat dikatakan hal ini merupakan “penghalusan” dari bentuk korupsi yang paling terang-terangan yaitu suap.
     Lobi (lobbying) telah menjadi kegiatan publik, khususnya dalam politik, dan merupakan hal yang diperdebatkan dalam dunia politik. Kata lobi cenderung menimbulkan kecurigaan publik dan merupakan hal yang umum bagi seorang pelobi (lobbyist) untuk menyatakan dirinya dengan berbagai kategori, seperti “Hubungan Pemerintah Profesional” (Government Relations Professionals), “Konsultan Urusan Publik” (Public Affairs Consultants) dan sebagainya. Lobi juga dihubungkan dengan kelompok-kelompok yang kuat, korporasi besar, praktik permainan yang ganjil dan terlarang yang, dalam bentuk terburuknya, mungkin sama dengan korupsi.

     Ditilik dari asal katanya, lobby bermakna sebagai ruang tunggu di hotel-hotel atau bisa dikatakan sebagai tempat duduk-duduk atau pun berkumpul. Kata melobi sendiri mulai berkembang ke arah politik terutama dikaitkan dengan aktivitas para anggota parlemen Inggris yang seringkali memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk duduk-duduk di ruang lobby sambil melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lainnya.

     Istilah lobbying atau kemudian menjadi “Lobi” dalam Bahasa Indonesia  sering dikaitkan dengan kegiatan politik dan bisnis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, melobi ialah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian adalah bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan memengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang.

     Biasanya pelaku atau pemain utama korupsi yang mendapatkan keuntungan pribadi adalah orang-orang yang memegang kekuasaan negara (elite kekuasaan) dan sektor swasta (pengusaha). Mereka melakukan kerja sama atau persekongkolan untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara tidak sah dengan merugikan hak-hak orang lain terutama masyarakat. Tidak sedikit pula masyarakat yang sulit menghindari dan terlibat praktik korupsi (dalam skala kecil), bukan karena kemauan ataupun keuntungan yang didapatkan, melainkan karena mekanisme yang “memang harus begitu” khususnya dalam birokrasi pemerintahan.

Fenomena Revolving Door

     Oleh karena trading in influence melibatkan seseorang yang mampu berhubungan dengan pejabat, maka dalam prosesnya pasti terdapat kegiatan lobi (lobbying). Lobi dalam hal ini melibatkan interaksi antara pemerintah dan sektor swasta, yang kemudian menimbulkan risiko terjadinya trading in influence. Interaksi yang dilakukan pemerintah dan sektor swasta ini berkaitan dengan fenomena revolving door. Gagasan utama dari revolving door adalah banyaknya pejabat publik terutama dari legislatif yang beralih pekerjaan menjadi konsultan untuk industri perusahaan. Memperbolehkan pejabat publik untuk mengambil pekerjaan dengan perusahaan atau bertindak sebagai konsultan pasti membawa risiko konflik kepentingan atau perilaku yang tidak patut. 

     Istilah revolving door diketahui sebagai keadaan dimana seorang mantan pejabat publik beralih ke ranah bisnis yang sebelumnya mereka atur, dan pergerakan orang-orang yang mewakili kepentingan khusus ke dalam ranah pemerintahan diketahui sebagai reverse revolving door.  Fenomena revolving door merupakan risiko terhadap keadilan dan ketidakberpihakan dalam pengambilan keputusan publik yang berhubungan dengan konflik kepentingan (conflicts of interests).  Contohnya, seorang pejabat publik yang sudah pensiun masuk menjadi direksi suatu perusahaan akan menggunakan akses dan pengaruh khusus yang dimiliki terhadap koleganya untuk keuntungan perusahaan.

     Korupsi bisa muncul saat mantan pejabat publik, termasuk politisi, staf politik dan pegawai negeri senior, yang telah menjadi pelobi, menggunakan hubungan yang mereka kembangkan saat mereka menjadi pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya.  Risiko korupsi terkait muncul ketika mantan pejabat publik, yang melobi di area sektor publik tempat mereka dipekerjakan sebelumnya, secara tidak benar menggunakan informasi rahasia yang mereka akses dalam karir publik mereka untuk kepentingan mereka sendiri atau kepentingan klien mereka.  Hal ini dapat menjadi modus perdagangan pengaruh lebih lanjut untuk memperoleh akses ke otoritas publik, dan mungkin saja dapat memperoleh keuntungan yang tidak semestinya tanpa suatu pemberian atau hadiah.

Trading in Influence Belum Diatur di Indonesia

     Meratifikasi UNCAC merupakan bentuk komitmen Indonesia kepada dunia internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Ratifikasi tersebut menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk mengakomodir klausul-klausul yang ada di dalam UNCAC agar dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Hal yang menjadi poin penting yaitu ratifikasi tersebut perlu diarahkan menjadi standar bersama dalam mengualifikasi jenis kejahatan serta mekanisme penanganan kasus korupsi.

     Bila kita berkaca pada peraturan perundang-undangan di negara lain, ada beberapa negara Eropa yang telah mengatur trading in influence dalam hukum pidananya, seperti Perancis dan Swedia. Di Prancis dapat dilihat pada The Corruption Act of 30 June 2000 yang dirubah dengan Anti-Corruption Act of 13 November 2007 (Anti-Corruption Act No. 2007), dimana dikatakan terdapat empat bentuk kejahatan trading in influence terhadap pejabat publik asing yang disamakan dengan kejahatan setara dengan hukum nasionalnya yaitu:
     a.    passive trading in influence with an international public official;
     b.    active trading in influence with an international public official;
     c.    passive trading in influence with international judicial staff; dan
     d.    active trading in influence with international judicial staff
KUHP Swedia juga sudah mengatur mengenai bentuk korupsi ini. Perubahan KUHP Swedia pada tanggal 1 Juli 2012 dalam Bab 10 tentang Suap ada memasukkan ketentuan trading in influence yang mencakup tindakan aktif dan pasif dan dibatasi dalam sektor publik dan spesifik pada keputusan dan tindakan yang berhubungan dengan otoritas publik dan pengadaan publik.

     Sebaliknya, tidak sedikit negara lain yang belum mengatur secara tegas trading in influence ini dalam hukum pidananya, sebut saja Inggris dan Denmark. Hal tersebut mengingat lobi-lobi di negara-negara tersebut bukanlah perbuatan illegal.  Keadaan ini juga terjadi di Indonesia, yang mana belum terdapat pengaturan terhadap perbuatan “memperdagangkan pengaruh” atau trading in influence ini. Bahkan pasca ratifikasi UNCAC, Indonesia belum pernah melakukan revisi maupun pergantian terhadap UU PTPK.

     Sepintas aturan mengenai trading in influence ini mirip dengan unsur-unsur suap, gratifikasi, atau penyalahgunaan kewenangan. Jika dicermati lebih jauh, pasal-pasal yang kita kenal di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat ini sulit menyentuh pelaku pejabat publik yang menawarkan bantuan untuk melobi seorang pejabat publik atau suatu instansi lainnya. Modus trading in influence tentu sangat mungkin dikembangkan pada model pendanaan ke institusi partai. Pengusaha dan pihak lain yang ingin mendapatkan proteksi, memuluskan proyek atau kepentingan apa pun, dapat memelihara partai politik melalui dukungan dana politik. Oleh karenanya, akan banyak sekali kekhawatiran para penegak hukum dalam upaya untuk menjerat modus baru dalam tindak pidana korupsi tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Sederhana Hukum Pidana & Hukum Perdata

"Hukum" - banyak asumsi yang akan timbul bagi orang yang mendengar kata ini. Tidak sedikit masyarakat awam hukum yang menafsirkan "hukum" sebagai suatu jalan penyelesaian masalah dengan cara non-damai. Dan ada pula yang mengasumsikan bahwa "hukum" ini muncul ketika timbul suatu "kasus" atau masalah yang merugikan pihak tertentu. Keadaan seperti ini wajar adanya, karena memang tidak semua orang belajar ilmu hukum, sementara kata "hukum" itu selalu didengungkan oleh para penegak hukum (seperti polisi, jaksa, hakim).  Adagium yang masih teringat jelas di benak saya, "Jadikan Hukum Sebagai Panglima," yang mungkin masyarakat juga sering ingat setelah menjadi "tren" oleh Presiden Republik Indonesia ke-enam , Susilo Bambang Yudhoyono . Hal demikian wajar adanya karena memang tidak ada referensi khusus yang mengekang pengertian hukum itu sendiri. Tidak ada pengertian yang baku untuk hukum. Begitu banyak para ahli hukum

Makna Hukum

     Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai sifat alamiah untuk hidup berkumpul dengan sesamanya.  Hal ini senada dengan pernyataan Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon yang berarti manusia sebagai makhluk sosial, dalam pengertian bahwa manusia senantiasa hidup dalam suatu pergaulan bersama dengan manusia lainnya.             Berbicara tentang hukum berarti berbicara tentang manusia, karena unsur pokok daripada hukum ialah berkenaan dengan manusia di dalam pergaulan hidupnya. Sejak dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam suatu wadah bernama masyarakat yang lama-kelamaan skala pergaulannya dengan manusia lain semakin luas. Dengan semakin beranjaknya usia menjadi dewasa, manusia akan menyadari dengan sendirinya bahwa dalam berhubungan dengan masyarakat dia memang bebas, namun tidak bertindak semaunya. Hal tersebut dipelajari mulai dari skala kecil di dalam keluarga, yaitu dari ayah dan ibuny

8 Kode Rahasia Android

1. Kode paling lazim, yaitu *#06# buat ngecek IMEI. Dengan begini kamu tahu HP-mu itu produksi mana dan gimana kualitasnya   Setelah memasukkan kode, pasti muncul IMEI, catat. Pastikan nomer IMEI sama dengan yang tertulis di kardus dan juga di baterai. Kalau kamu masih belum yakin, kamu bisa cek keaslian IMEI di numberingplans.com FYI, dari sekian digit IMEI, yang paling perlu kamu perhatiin adalah digit ke-7 dan ke-8. Berikut adalah list digit ke-7 dan ke-8 serta negara pembuatnya. 00 Prancis 01 Finlandia 10 Finlandia 08 Jerman 80 Jerman 20 China 02 China 40 India 04 India Nah, untuk kualitas terbaik adalah Prancis, terbaik kedua Finlandia, kualitas wajar adalah Jerman. Untuk sisanya, bisa kamu tafsirkan sendiri. 2. *#*#4636#*#* untuk melihat informasi tentang ponsel, statistik penggunaan, dan penggunaan baterai. Lewat menu ini, kalau kamu jeli kamu bisa memastikan bahwa barang itu benar-benar baru dari statistik kondisi baterai, statistik program. Kalau ada program men